Menantang kritikan, sertifikat energi terbarukan tetap melejit di Asia Tenggara

Asia Tenggara memimpin dalam pertumbuhan penerbitan sertifikat tenaga surya dan angin. Hal ini membantu para pengembang mendapatkan pendanaan dan mulai berkembang di pasar yang baru lahir di tengah-tengah dugaan perusahaan membeli sertifikat energi terbarukan (REC) untuk meningkatkan klaim hijau.

Singapore solar gas energy
Solar panels and a natural gas power plant in Singapore's western industrial estate. Solar RECs from Singapore fetch very high prices, at around US$65/MWh, due to high demand and limited supply. Image: Eco-Business/ Jessica Cheam.

Read the story in English here

Meskipun perkembangan energi terbarukan di Asia Tenggara masih tergolong lambat dan sulit, produsen tenaga surya dan angin terus mencari pendanaan tambahan melalui pasar yang sama untuk mendapatkan sertifikat yang memverifikasi pembangkitan listrik yang ramah lingkungan.

Dinamika ini telah melontarkan kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu yang tercepat perkembangannya untuk “sertifikat energi terbarukan” atau REC, yang dibeli oleh perusahaan untuk mencapai tujuan dekarbonisasi.

Penerbitan REC tenaga surya dan angin dari Asia Tenggara meningkat hingga hampir 13 kali antara tahun 2019 dan 2023 berdasarkan data dari 2 lembaga internasional. Didorong oleh percepatan energi terbarukan di Vietnam, pertumbuhan suplai untuk REC di Asia Tenggara jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata global yang tumbuh 9 kali pada periode yang sama.

Pendapatan dari REC masih kecil, namun sumber mengatakan tetap bisa membantu dengan aliran dana saat menghadapi kondisi ekonomi yang sulit dan sebagai modal untuk menarik investor.

Namun, pertumbuhan pasar merupakan pedang bermata dua. Sistem REC telah mendapatkan kritikan karena memperbolehkan pembeli – termasuk perusahaan besar – untuk melebih-lebihkan kredensial ramah lingkungan mereka. Ada upaya untuk memperketat peraturan meskipun berdasarkan prinsip dasarnya, REC memiliki kelonggaran dibandingkan dengan kredit karbon pada perhitungan emisi.

Para pemain regional Eco-Business mengatakan bahwa REC menciptakan keuntungan lingkungan bersih di Asia Tenggara di mana pilihan pendanaan terbatas, sekaligus memperingatkan untuk tidak tergantung pada variabel aliran pendanaan.

Pertumbuhan eksponensial

Pada tahun 2023, hampir 12,5 juta REC, yang merepresentasikan 1 megawatt-jam (MWh) dari pembangkitan listrik, telah dikeluarkan untuk proyek surya dan angin di Asia Tenggara. Terjadi peningkatan dari di bawah 7 juta pada tahun 2022 dan di bawah 1 juta pada tahun 2019.

Angka-angka ini merupakan tabulasi dari data yang dihasilkan oleh 2 lembaga penerbitan REC global, yaitu I-REC dan TIGR, yang memiliki instalasi energi terbarukan di Asia, Australia, Afrika, dan Amerika. Sementara, Kanada, Eropa bagian barat dan Amerika Serikat memiliki standar berbeda.

RECs I-REC, TIGR growth id

Grafik Eco-Business. Data: pendaftar I-REC, TIGR.

Untuk platform seperti I-REC dan TIGR, REC akan dijual terpisah dari listrik, seringkali kepada perusahaan yang tidak secara langsung membeli listrik atau berada pada jaringan listrik yang sama. Untuk pembangkit energi terbarukan, keuntungannya adalah pendapatan tambahan. Dalam laporan keberlanjutan mereka, para pembeli REC dapat mengurangi bagian yang setara dengan konsumsi listrik berbasis fosil dan emisi terkait, bahkan jika mereka tidak menggunakan listrik ramah lingkungan yang berkaitan dengan sertifikat yang telah dibeli.  

REC telah ada selama beberapa dekade dan menjadi semakin popular di kalangan korporasi besar, seperti Google, Samsung, dan Starbucks. Penggunaan hampir mirip dengan kredit karbon, meskipun dalam istilah penghitungan, REC “mengurangi” emisi perusahaan dari penggunaan listrik, sementara kredit karbon “mengimbangi” sisa emisi yang dihasilkan oleh perusahaan setelah memperhitungkan upaya-upaya berkelanjutan lainnya.

SEA countries figures I-REC, TIGR id

Grafik Eco-Business. Data: pendaftar I-REC, TIGR.

Di Asia Tenggara, paling banyak mengeluarkan REC adalah Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Vietnam berhasil menghasilkan hampir 7 juta REC tahun lalu. Singapura juga menunjukkan perkembangan meskipun masih relatif lebih rendah. Filipina meninggalkan platform REC global untuk menghindari penghitungan ganda setelah memberlakukan pasar wajib secara nasional di tahun 2021.

Brunei dan Kamboja merupakan pasar yang berkembang setelah menerbitkan REC tenaga surya dan angin untuk pertama kalinya di tahun 2022. Sementara, pengembang tenaga surya dan angin dari Laos dan Myanmar belum mencoba memasuki pasar REC.

Harga akan bervariasi. Berdasarkan Monsoon Carbon, penerbit REC, sertifikat REC tenaga surya bisa mencapai 0,70 dolar per satuan di pasar Vietnam yang kelebihan suplai hingga 65 dolar di Singapura di mana kemampuan pengadaan perusahaan melebihi instalasi tenaga surya atap. REC tenaga surya di Indonesia rata-rata 3 dolar, Malaysia 5 dolar, sementara REC tenaga surya dan angin di Thailand berkisar 2 dolar, jelas Angus McEwin, pendiri dan direktur Monsoon Carbon kepada Eco-Business. 

Terbatas namun menarik

Secara umum, para pengembang energi terbarukan di Asia Tenggara tidak mengandalkan REC untuk bertahan. Angus mengatakan bahwa sertifikat memberikan kurang dari 10 persen pendapatan penjualan listrik di sebagian besar pasar. Singapura menjadi pengecualian di mana pendapatan dari REC relatif lebih tinggi ketimbang listrik. Namun, perhitungan ini dapat berubah di masa depan.

“Ketika semua orang sudah mulai melakukan sesuatu terkait energi terbarukan dan pembeli mulai membeli REC, permintaan akan naik dan harga perlu naik. Ini berarti keuntungan bagi para pengembang energi terbarukan akan semakin signifikan,” jelas Angus.

Keuntungan ini dapat berbeda tergantung tipe proyek – dengan proyek tenaga surya atap yang tidak memiliki skala ekonomi seperti tenaga surya dan angin skala besar memiliki lebih banyak keuntungan. 

“Untuk bisnis industri skala besar yang membutuhkan pembangkit listrik [tenaga surya] 10, 20 megawatt, kemampuan untuk memisahkan REC dan menjualnya menjadi cara lebih menarik untuk mendanai proyek,” jelas Nitin Apte, kepala regional angin, surya, dan penyimpanan baterai dari Vena Energy.  

Vene Energy biasanya menjual listrik dan REC secara bersamaan, jelas Nitin. Metode ini biasanya berbentuk kontrak tetap dan jangka panjang ketimbang transaksi I-REC dan TIGR. Memisahkan REC akan membuat penjual menghadapi fluktuasi tambahan harga, lanjut Nitin.

Edwin Widjonarko, salah satu pendiri dan direktur teknologi Xurya, pengembang tenaga surya di Indonesia yang berfokus kepada proyek tenaga surya atap, mengatakan bahwa dari tahun 2021, pendapatan dari penjualan REC hanyalah “tambahan”.

Edwin mengatakan bahwa REC membantu proyek untuk berjalan di pasar yang baru di mana kekurangan rantai suplai dan sumber daya manusia meningkatkan kebutuhan modal.

“Seandainya kami tahu ini lebih awal, misalnya dari tahun 2018, yang akan sangat membantu kami,” jelasnya. Xurya memiliki 165 proyek di seluruh Indonesia.

Para investor juga ikut terlibat dengan REC “yang pastinya menjadi salah satu faktor” dalam keputusan pendanaan baru saat pemberi dana ingin mendapatkan sertifikat yang baru, jelas Angus.

Ada kesempatan untuk berkembang bagi penerbitan REC di Asia Tenggara: dari 12,5 juta pada tahun lalu – yang merepresentasikan 12,5 terawatt-jam (TWh) dari pembangkit tenaga surya dan angin – hanya bagian dari total 50 TWh yang diproduksi di tahun 2021 di kawasan tersebut, berdasarkan analisa dari Ember.

Solusi yang tidak sempurna 

Meskipun REC membantu pengembang tenaga surya dan angin, ada kritikan tentang klaim ramah lingkungan yang berlebihan dari pembeli. Sebuah studi di tahun 2022 menemukan bahwa 115 perusahaan melaporkan lebih dari 30 persen pengurangan di emisi “Scope 2” – dari penggunaan listrik – antara tahun 2015 dan 2019, meskipun angka tersebut turun ke bawah 10 persen saat REC tidak dimasukkan. 

Secara teori, keuntungan lingkungan dari pembangkitan energi terbarukan sudah memberikan kontribusi untuk menurunkan faktor emisi jaringan dari jaringan listrik lokal, sehingga tambahan penurunan emisi yang diklaim oleh perusahaan saat membeli REC, tetapi tidak menggunakan listrik, bisa diartikan sebagai kelebihan perhitungan. REC juga tidak benar-benar berada di bawah prinsip “nilai tambah bersih” dari pasar karbon, yaitu penurunan emisi terjadi hanya karena pendapatan dari penjualan sertifikat – karena dalam banyak kasus pembangkit listrik yang layak secara ekonomi lebih dulu daripada penerbitan REC.

Para pendukung REC mengatakan bahwa peningkatan aliran dana ke pengembang energi terbarukan akan mendorong pertumbuhan. Ada langkah untuk memperketat peraturan seputar perdagangan – inisiatif perusahaan global RE100 menyerukan agar REC dapat dibeli dari proyek pembangkitan listrik berusia kurang dari 15 tahun. GHG Protocol meminta perusahaan membeli REC untuk pelaporan 2 angka dalam Scope 2, yaitu memperhitungkan sertifikat dan tanpa memperhitungkan sertifikat.

Ada juga konsensus bahwa REC hanya bisa berasal dari pasar yang sama dengan tempat perusahaan beroperasi untuk memberikan keuntungan bagi lokal. Angus dari Monsoon Carbon memperkirakan 90 persen dari perusahaan sudah mempraktekkan hal ini.

Di kawasan Asia Tenggara, para ahli mengatakan bahwa peraturan REC bisa menjadi rumit dengan adanya peningkatan perdagangan listrik lintas negara, yang akan meningkatkan risiko perhitungan ganda dan kemungkinan aksi proteksi terhadap perubahan harga yang tidak menguntungkan. Mereka mengatakan pendanaan jangka panjang untuk pemenbangan tenaga surya dan angin melalui perjanjian pembelian tenaga listrik masih tetap menjadi kunci untuk pertumbuhan sektor ini.

Untuk Xurya, selain REC, “peraturan yang stabil, jelas dan dapat diterapkan” seputar perjanjian listrik perusahaan juga akan memberikan keuntungan. “Selalu ada perubahan secara lebih detail setiap setahun atau dua tahun, yang menjadi tantangan bagi kami untuk merumuskan perjanjian pembelian tenaga listrik,” jelas Edwin Widjonarko. 

Namun, REC tetap dapat memiliki peran yang nyata untuk dekarbonisasi di kawasan Asia Tenggara. “REC berurusan dengan hal yang masih terputus – bisa membeli hingga megawatt-jam secara prinsipnya. Ia juga berurusan dengan komponen variabel yang tidak bisa ditahan oleh perjanjian jangka panjang,” jelas David Broadstock, peneliti senior di Institut Sustainable dan Green Finance, di National University of Singapore.

“Sampai ada yang lebih baik, ini akan menjadi solusi yang terbaik. Tidak ada lagi cara yang lebih praktis dan sederhana bagi konsumen untuk mendapatkan energi terbarukan,” jelas Angus McEwin.

Apakah artikel ini bermanfaat? Bergabunglah dengan Lingkaran EB!

Your support helps keep our journalism independent and our content free for everyone to read. Join our community here.

Terpopuler

Acara Unggulan

Publish your event
leaf background pattern

Transformasi Inovasi untuk Keberlanjutan Gabung dengan Ekosistem →