Perjuangan pegiat lingkungan demi energi bersih di Asia Tenggara

Rundungan, ancaman pembunuhan, penculikan. Tidaklah mudah untuk mengampanyekan energi terbarukan di Asia Tenggara. Eco-Business berbincang dengan para pegiat lingkungan in Indonesia, Filipina dan Vietnam tentang tantangan yang mereka hadapi dalam memperjuangkan masa depan energi bersih.

[Bahasa Indonesian] Pagbilao coal plant
Aktivis dan warga provinsi Quezon di Filipina berkumpul dalam upacara agama di sekitar pembangkit listrik batu bara Pagbilao pada tahun 2005. Mereka melakukan protes terhadap GenOn Energy Holdings, yang dulu bernama Mirant Corporation, perusahaan Amerika Serikat pemilik PLTU tersebut. Perusahaan ini berencana memperbesar operasi batubaranya di kawasan pemukiman warga. Foto: Jose Enrique Soriano/Greenpeace

Seberapa besarkah peluang aktivis lingkungan untuk berhasil memperjuangkan energi bersih di Asia Tenggara, satu-satunya kawasan di dunia yang porsi pemakaian batubara untuk energinya justru bertambah?

Pemakaian batubara untuk pembangkit listrik bertumbuh lebih cepat daripada sumber energi lainnya di kawasan ini. Terlebih lagi di Vietnam, negara yang pemakaian batu bara untuk listriknya diperkirakan akan meningkat sebanyak 544 persen pada periode 2014 hingga 2030.

Di Indonesia, konsumsi batu bara juga mengalami lonjakan pertumbuhan, meskipun ada komitmen secara nasional untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga setidaknya 23 persen dari pasokan energi pada tahun 2025, senada dengan Persetujuan Paris.

Hasrat Filipina terhadap penggunaan batu bara, yang merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, diprediksi akan melampaui Indonesia dalam satu dekade ke depan. Pada 2030, negara kepulauan tersebut diperkirakan akan memiliki porsi terbesar pemakaian batu bara di Asia Tenggara.

Eco-business mewawancarai para aktivis lingkungan yang berada di garis depan dalam menentang bahan bakar fosil di Indonesia, Filipina dan Vietnam. Kami menanyakan apa yang dibutuhkan untuk memperjuangkan energi bersih di kawasan yang pertumbuhan energi bersihnya paling lambat di dunia.

Mendorong listrik hidro in Indonesia

“Beberapa pejabat daerah mengira mereka bisa dapat uang dari proyek-proyek saya. Saat mereka tahu kalau tidak akan dapat apa-apa, sulit meyakinkan mereka untuk mendukung saya. Tapi saya sudah terbiasa melawan.” Begitulah jawaban Tri Mumpuni Iskandar ketika ditanya apa tantangan terberat dalam membangun pembangkit listrik tenaga air mikro di pelosok Indonesia.

Mumpuni, yang lugas dalam berbicara, ialah direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), lembaga swadaya masyarakat yang telah membangun lebih dari 70 pembangkit listrik mikrohidro yang menyediakan listrik bagi setengah juta orang di daerah terpencil.

IBEKA menghimpun dana untuk membangun pembangkit listrik dari donatur lokal dan asing.

[Bahasa Indonesian] Mumpuni coal

Mumpuni bersama pembangkit mikrohidro di Cinta Mekar, Indonesia. Foto: IBEKA

Mumpuni, yang merupakan insinyur pertanian, telah mengembangkan berbagai model mikrohidro dengan berbagai kapasitas, mulai dari 5 hingga 250 kilowatt (kW). TEST

Salah satu modelnya ialah jaringan listrik terisolasi yang dijalankan, dirawat, serta digunakan oleh masyarakat setempat. Model lainnya membuat listrik yang dihasilkan bisa dijual kembali.

Sebelumnya tidak ada landasan hukum yang membolehkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator jaringan listrik nasional untuk membeli listrik dari pembangkit listrik independen. Namun, Mumpuni berhasil melobi agar peraturan tersebut diubah.

Saat ini, listrik yang dihasilkan telah bisa diekspor dan dijual kepada PLN, sehingga menjadi sumber penghasilan desa yang dapat digunakan untuk dana pembangunan, seperti pemberian beasiswa bagi keluarga tidak mampu.

Listrik bukanlah tujuan utama kami. Tujuan utama kami adalah membangun desa-desa yang berdaya secara ekonomi. 

Tri Mumpuni Iskandar, director, People Centered Business and Economic Institute 

Upaya Mumpuni membuatnya menjadi satu dari enam penerima Ramon Magsaysay Award tahun 2011, penghargaan bergengsi di Asia bagi orang yang berkomitmen pada pelayanan masyarakat.

Dalam pidatonya ketika menerima penghargaan tersebut, ia berkata: “Listrik bukanlah tujuan utama kami. Tujuan utama kami adalah membangun desa-desa yang berdaya secara ekonomi. Itulah tugas tertinggi saya.”

Pekerjaan Mumpuni mengantarkannya ke daerah terpencil di Indonesia dan memberi pengalaman tak terduga. Pada tahun 2008, Mumpuni dan suaminya diculik oleh kelompok separatis di Aceh, dibawa ke hutan, dan dipaksa untuk mengumpulkan uang dari saudara dan kerabat demi membayar tebusan.

Meskipun begitu, pengalaman itu justru memperkuat keyakinannya untuk menyediakan energi terbarukan di negara yang telah bergantung pada batu bara. Mumpuni berkata: “Seolah Tuhan bertanya apakah kami sungguh bertekad untuk menolong orang lain. Kami jadi lebih berani. Banyak hal yang masih harus kami kerjakan.”

Semangat sedari kecil untuk memberantas polusi di Vietnam

Sebagai anak perempuan, Khanh Nguy Thi teringat pakaiannya selalu tertutup jelaga hitam dari pembangkit listrik batu bara dekat tempat tinggalnya di Bac Am, sebuah desa di Vietnam bagian utara.

Ia bahkan menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana keluarga dan tetangganya mengidap penyakit paru-paru dan kanker akibat menghirup abu hasil pembakaran batu bara.

Masa kecil yang dipenuhi polusi udara memicu semangatnya untuk bekerja pada isu-isu konservasi lingkungan di masyarakat setelah lulus kuliah. Pada tahun 2011, ia mendirikan organisasi nirlaba yang berfokus mempromosikan pengembangan energi berkelanjutan di Vietnam–Green Innovation and Development Centre (GreenID).

[Bahasa Indonesian] Khanh Nguy Thi coal

Khanh Nguy Thi berdiri di depan Pembangkit Listrik Pha Lai, pembangkit berbahan bakar batu bara terbesar di Vietnam. Foto: GreenID

Pada periode yang sama, pemerintah Vietnam mengeluarkan Power Development Plan (Rancangan Pembangunan Listrik) untuk memenuhi permintaan listrik yang melonjak, yang meliputi sejumlah pembangkit listrik batu bara berkapasitas total 75.000 megawatt (MW). Di tengah polusi udara yang sudah mengancam kesehatan publik, pembangunan pembangkit listrik batu bara dapat mengakibatkan 25.000 kematian dini tiap tahunnya.

Khawatir terhadap besarnya ketergantungan akan batu bara dalam rancangan tersebut, serta terhadap ketahanan energi jangka panjang Vietnam dan implikasinya terhadap iklim, Khanh pun melakukan penelitian mendalam mengenai dampak batu bara.

Kami harus berani dan selalu berdiri bersama masyarakat yang kami layani. 

Khanh Nguy Thi, executive director and founder, Green Innovation and Development 

Bersama rekan-rekannya di GreenID, ia merilis laporan yang mengusulkan pengurangan penggunaan batu bara untuk listrik dan peningkatan pemakaian energi terbarukan di Vietnam. Kajian yang terperinci akan biaya dan risiko, diiringi berbagai studi yang dilakukan di komunitas terdampak bencana terkait batu bara, memicu perdebatan di ruang publik mengenai pemakaian batu bara.

Pada Maret 2016, pemerintah Vietnam pun akhirnya mengumumkan revisi terhadap Power Development Plan, yang melibatkan usulan dari Khanh untuk memangkas jumlah pembangkit listrik batu bara dan meningkatkan porsi energi terbarukan hingga 20 persen dari total produksi energi Vietnam pada 2030.

Upayanya berbuah pada penghargaan sebagai satu dari enam pemenang Goldman Environmental Prize tahun lalu, penghargaan yang dianggap Nobel Hijau bagi aktivisme lingkungan di akar rumput.

Terlepas dari kontribusinya, Khanh berkata bahwa perjuangannya tetap membawa ancaman verbal dari oknum pejabat yang memiliki “kepentingan terselubung” dengan produksi batu bara.

“Karena [distribusi dan penjualan] listrik di Vietnam dimonopoli, investor dan penyedia jasa memiliki pengaruh sangat besar dalam tahap perencanaan terkait pemilihan teknologi dan pengamanan investasi. [Karena itulah] pembangkit listrik batu bara terus dibangun,” ucap Khanh kepada Eco-Business.

Ia berkata bahwa aktivis energi bersih sepertinya “harus berani dan berdiri bersama masyarakat yang dilayani. Bersama masyarakat, kita yakin bisa membangun hidup yang lebih baik dan iklim yang lebih bersih.”

Membela energi bersih di negeri yang paling berbahaya bagi aktivis

Sebelum menjadi koordinator nasional untuk salah satu kelompok advokasi yang paling vokal menentang batu bara di Filipina, Ian Rivera (56 tahun) mengabdikan hidupnya sebagai pembela hak atas lahan.

Dipengaruhi ibunya yang berasal dari keluarga petani, Ian merupakan aktivis mahasiswa di University of the Philippines yang mendorong penegakan hak akan tanah di awal 1980an. Ia mengalihkan perhatiannya kepada isu lingkungan ketika menyadari bahwa isu iklim membawa dampak terhadap penggunaan dan kepemilikan lahan.

[Bahasa Indonesian] Ian at Rally

Ian Rivera pada suatu aksi menentang batu bara di Makati, Filipina. Foto: PMCJ

Pada 2015, Rivera menjadi salah satu pemimpin dalam demo yang melibatkan 5.000 aktivis untuk menentang pembangunan tiga pembangkit listrik batu bara di Panguil Bay, Mindanao.

Salah satu proyek pembangunan tersebut adalah pembangkit listrik batu bara 300 MW yang didukung oleh walikota setempat, sosok yang dikabarkan memiliki hubungan dengan kelompok tentara bayaran dan geng penculik.

“Walikota itu murka kepada penyelenggara demo, dan kami dipanggil ke kantornya untuk berdialog di tengah-tengah pengawalnya yang bersenjata. Saya mengumpulkan keberanian untuk membawa sebuah studi dari Harvard University tentang dampak pembakaran batu bara bagi kesehatan masyarakat dan berkata kepada dia bahwa kotanya akan mati dan cucu-cucunya akan menderita akibat polusi udara,” ucap Rivera.

Pembangunan pembangkit tersebut akhirnya dihentikan.

Saya mendapat banyak sekali ancaman pembunuhan. Tapi ketika gerakan keadilan iklim menang atas pembangkit listrik batu bara, semua itu menjadi setimpal. 

Ian Rivera, national coordinator, Philippine Movement for Climate Justice 

[Bahasa Indonesian] gloria capitan coal martyr

Gloria Capitan, seorang aktivis yang menentang pembangunan pembangkit listrik batu bara di Filipina, tewas ditembak pada tahun 2016. Global Witness melaporkan adanya 28 pembunuhan terhadap pegiat lingkungan pada tahun tersebut. Foto: PMCJ

Pada 2016, Rivera bergabung dengan Philippine Movement for Climate Justice (PMCJ), suatu koalisi yang terdiri dari 103 kelompok yang mencakup masyarakat asli, nelayan dan petani, yang berjuang untuk mengatasi krisis iklim dengan berfokus pada ekspansi pembangkit listrik batu bara. 

Dalam salah satu kampanye, mereka menentang distributor listrik terbesar di Filipina, Manila Electric Co, yang merancang perjanjian pasokan listrik dengan tujuh pembangkit listrik batu bara terbesar di negara itu. Kontrak kerja tersebut akhirnya terhenti sejak 2017.

Rivera berkata bahwa ia sadar akan bahaya yang membayanginya dalam membela lingkungan di Filipina. Global Witness, sebuah lembaga pengawas di UK, mencatat sebanyak 30 kasus pembunuhan terhadap aktivis lingkungan di Filipina pada tahun 2018, angka kematian tertinggi secara global.

“Saya mendapat banyak sekali ancaman pembunuhan. Tapi ketika gerakan keadilan iklim menang atas pembangkit listrik batu bara, semua itu menjadi sepadan,” ujarnya. “Kami sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan kita ada di garis terdepan dalam perjuangan keadilan iklim.”

Read the story in English here.

Did you find this article useful? Join the EB Circle!

Your support helps keep our journalism independent and our content free for everyone to read. Join our community here.

Most popular

Featured Events

Publish your event
leaf background pattern

Transforming Innovation for Sustainability Join the Ecosystem →