Menteri Energi Indonesia, Bahlil Lahadalia, mengumumkan pada Februari bahwa pemerintah akan mempensiunkan lebih awal PLTU Cirebon-1, pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 660 megawatt (MW) di Jawa Barat.
Cirebon-1 merupakan proyek pertama yang ditetapkan untuk pensiun dini di bawah Just Energy Transition Partnership (JETP), sebuah kesepakatan pendanaan iklim antara negara-negara maju dan negara berkembang yang bergantung pada batu bara. Meskipun keabsahan JETP dipertanyakan setelah penarikan diri Amerika Serikat dari kesepakatan itu awal bulan ini, Indonesia tetap berencana mempensiunkan beberapa pembangkit lebih cepat.
Lahadalia menyatakan bahwa Cirebon-1 akan berhenti beroperasi pada 2035—tujuh tahun lebih awal dari rencana semula—untuk meredakan kekhawatiran finansial dan hukum yang muncul dari rencana pensiun dini September lalu. Rencana yang dirancang oleh Asian Development Bank (ADB), PLN, dan PT Cirebon Electric Power ini bertujuan menggantikan PLTU dengan sistem energi terbarukan berbasis tenaga surya, angin, dan pengolahan sampah menjadi energi.
Menurut laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), pensiun dini Cirebon-1 akan mencegah 6.370 kematian akibat dampak kesehatan negatifnya, serta menghemat beban ekonomi senilai US$4,4 miliar (Rp67 triliun) dari penyakit pernapasan dan hilangnya produktivitas pada periode 2036–2042.
“
Kami tidak serta merta percaya pada sumber energi apapun. Kami ingin melihat bukti nyata dulu, apakah benar-benar ramah lingkungan dan memberi manfaat konkret bagi warga.
Aan Anwaruddin, ketua, Rakyat Penyelamat Lingkungan
Manfaat serupa juga dapat diraih dari proyek percontohan kedua JETP. Pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu berkapasitas 1.050 MW pada 2037 akan mencegah 5.409 kematian dan kerugian ekonomi senilai US$3,7 miliar (Rp57 triliun) pada 2038–2043.
Meski ini menjadi terobosan bagi transisi energi Indonesia, kekhawatiran mengenai hak pekerja dan kompensasi atas kerusakan lingkungan mengiringi pencapaian ini, mengekspos celah dalam rencana transisi yang adil menuju energi terbarukan.
Tingkat polusi partikulat dari pembangkit listrik Pelabuhan Ratu, yang dijadwalkan akan ditutup pada tahun 2037 [klik untuk memperbesar]. Sumber: CREA
Defisit transparansi
PLTU Cirebon-1 dibangun pada tahun 2007. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dilakukan setahun setelah pembangunannya. Operasional pembangkit ini dimulai pada tahun 2012.
Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL), sebuah organisasi lingkungan lokal di Jawa Barat, melaporkan bahwa dari 300 orang yang bekerja di PLTU tersebut, hanya 50 orang yang berasal dari Desa Kanci Kulon, wilayah sekitar lokasi pembangkit. Sebagian besar pekerja lokal ini dipekerjakan sebagai staf keamanan dan petugas kebersihan.
Para pencari kerja di PLTU diharuskan membayar biaya tidak resmi sebesar Rp1-3 juta (US$60-180) hanya untuk bisa direkrut. Praktik ilegal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun baik pemerintah maupun perusahaan sengaja menutup mata.
“Klaim bahwa PLTU batu bara membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar selalu menjadi kebohongan, menurut saya,” jelas Aan Anwaruddin, Ketua RAPEL.
Saat ini, baik ADB maupun PT Cirebon Electric Power belum memberikan konsultasi publik yang memadai terkait rencana pensiun dini PLTU, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi para pekerja mengenai prospek pekerjaan mereka di masa depan, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat.
“Banyak pekerja masih cemas karena tidak ada kepastian dari pemerintah maupun pihak PLTU mengenai status pekerjaan mereka. Mereka membutuhkan kejelasan rencana pensiun dini untuk mempersiapkan transisi, baik dengan mencari pekerjaan baru atau memperjuangkan hak-hak mereka,” ujar Wahyudi Iwang, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat.
Ketidakpastian ini semakin diperparah oleh keterlambatan penyelesaian peta jalan pensiun dini Cirebon-1. Awalnya diharapkan selesai pada September 2024, proses penyusunan peta jalan ini terhenti.
“Peta jalan mereka tidak jelas. Bahkan dalam surat terakhir kami kepada ADB, kami meminta transparansi rencana pensiun dini, tetapi belum mendapat tanggapan,” tegas Iwang.
Menurut Center for Economic and Law Studies (CELIOS), sebuah kelompok penelitian, pemerintah daerah seharusnya telah menyusun rencana aksi untuk mendiversifikasi ekonomi lokal dan menyediakan program peningkatan keterampilan (upskilling) dan pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja PLTU. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil.
“Pemerintah daerah harus mendiversifikasi ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor seperti pariwisata, perikanan, dan perkebunan masyarakat, karena ini sangat penting bagi pekerja tambang. Sementara itu, program upskilling dan reskilling harus disediakan untuk pekerja di sektor kelistrikan, seperti staf PLN dan tenaga pemeliharaan,” jelas Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS.
Ketidakpastian kompensasi kerusakan lingkungan
Selama 13 tahun terakhir, PLTU Cirebon-1 telah memberikan dampak negatif bagi nelayan lokal di wilayah sekitarnya, menurut laporan RAPEL.
“Sebelum PLTU dibangun, masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan Rp400.000 (US$24) hingga Rp600.000 (US$36) per hari tanpa perlu menggunakan solar atau perahu. Mereka hanya perlu berjalan sekitar 1,5 kilometer, dan bisa pulang membawa ratusan ribu rupiah dari hasil tangkapan ikan yang melimpah,” jelas Aan.
Namun, sejak PLTU beroperasi, mata pencaharian mereka terus terganggu.
“Banyak lokasi penangkapan ikan yang hilang, memaksa nelayan berlayar lebih jauh untuk mencari spot baru. Ini meningkatkan biaya operasional secara signifikan. Meski begitu, hasil tangkapan mereka seringkali tidak menentu dan jauh lebih sedikit,” ujar Iwang.
Selain itu, nelayan lokal terpaksa berlayar hingga perbatasan Jawa Tengah. Sayangnya, polusi laut dari PLTU telah menyebar ke wilayah lain, termasuk kota-kota pesisir dan perbatasan daerah tetangga. Ekosistem laut mengalami kerusakan parah akibat tumpahan batu bara dan operasi tongkang batu bara, yang telah menghancurkan terumbu karang dan merusak jaring nelayan.
Di darat, petani garam juga terkena dampak polusi, di mana kualitas garam menurun karena tercampur debu dari cerobong PLTU.
“Ketika PLTU ditutup, kami berharap ada rehabilitasi lahan agar area seluas 140 hektar ini bisa kembali digunakan untuk tambak garam dan memulihkan penghidupan warga. Kami juga mendesak dihentikannya tumpahan batu bara untuk memulihkan ekosistem laut, agar ikan dan udang bisa kembali,” tegas Aan.
Hingga saat ini, belum ada informasi lebih lanjut dari ADB maupun pihak PLTU mengenai kompensasi kerusakan lingkungan atau upaya rehabilitasi untuk memulihkan ekologi, menurut WALHI.
“Kerusakan ini mungkin tidak bisa sepenuhnya dipulihkan, tapi setidaknya harus ada upaya nyata untuk memperbaikinya, berdasarkan kepentingan masyarakat. Salah satu rekomendasi kami adalah penanaman mangrove, karena penting untuk memulihkan wilayah yang sebelumnya rusak,” papar Iwang.
Transisi menuju energi terbarukan
Dengan pensiun dininya PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu, setidaknya 14.000 pekerja akan kehilangan mata pencaharian. Namun menurut CELIOS, angka ini akan tertutupi oleh lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan yang akan menggantikan PLTU batu bara.
“Penutupan PLTU batu bara akan menciptakan 639.000 pekerjaan baru. Meski sebagian terdampak, efek positifnya lebih besar dari segi penyerapan tenaga kerja,” jelas Bhima.
Dari sisi fiskal, pengurangan PLTU batu bara dapat memangkas kelebihan pasokan listrik yang selama ini menelan biaya negara Rp21 triliun (US$1,3 miliar) per tahun, papar Bhima.
Selain itu, transisi energi terbarukan berpotensi menarik lebih banyak investor, mengingat belakangan ini banyak perusahaan mulai relokasi ke Vietnam. Pergeseran ini didukung sistem power wheeling Vietnam yang memungkinkan pelaku usaha menggunakan jaringan transmisi milik pemerintah untuk energi terbarukan.
Meski memiliki potensi ekonomi besar, rencana penggantian PLTU dengan energi terbarukan justru ditolak keras warga Desa Kanci Kulon. Banyak yang merujuk pada kerusakan lingkungan akibat PLTU sebelumnya, menimbulkan ketidakpercayaan mendalam di masyarakat.
“Kami tidak serta merta percaya pada sumber energi apapun. Kami ingin melihat bukti nyata dulu, apakah benar-benar ramah lingkungan dan memberi manfaat konkret bagi warga,” komentar Aan.
Sementara itu, para aktivis menekankan pentingnya menjamin penghidupan masyarakat dan perlindungan lingkungan selama transisi energi.
“Ketika bicara panel surya, kita juga harus mempertimbangkan penyimpanan baterainya yang sering mengandung zat sangat berpolusi. Perlu kajian mendalam tentang perawatannya, dan apakah penyimpanannya akan berdampak pada ekosistem,” jelas Iwang.